
Hanya dengan mengenakan kaos singlet dan sehelai kain panjang yang membalut pinggangnya, Haji Didit Heru Purnomo banyak bercerita tentang dirinya.
Diteras rumahnya yang bernuansa etnik, dengan ukir-ukiran pada kayu pilar penyangga lengkap dengan daun-daun hijau disekelilingnya, menjadikan sejuk suasana saat itu. Pria yang tenar dipanggil Didit Hape ini terlahir dalam lingkungan seni, tak ayal membawanya terjun dalam bidang serupa. Selama ini sosok yang lebih suka disapa Om Didit itu dikenal sebagai seorang seniman, budayawan sekaligus reporter senior TVRI Jawa Timur. Kini pria berambut panjang itu tengah sibuk mengelola sanggar Alang@lang yang didirikannya 10 tahun lalu.
Sejak kecil anak pasangan Suwandi Singo Saputro dan Safu’ah ini bergelut dalam dunia seni. Khususnya teater dan sastra. Bakatnya dalam bidang teater terasah dari bimbingan pamannya, Emil Sanosa, ia sering bermain teater di sanggar HSBI milik pamannya yang merupakan menejer dan penyiar radio. “Disitu saya juga dipercaya untuk memegang jalannya suatu pementasan, jadi sekaligus belajar jadi sutradara,” tutur pria asli Yosowilangun, Lumajang itu gamblang.
ia mengaku merasa ada yang kurang pada dirinya jika ia belum memakai aksesoris gelang. “Sebenarnya koleksi aksesoris-aksesoris ini berawal dari keisengan Om Didit. Sejak muda Om Didit senang memakai gelang dan kalung. Sampai-sampai ini sudah dianggap sebagai ciri khas saya,” ungkapnya sambil menunjukkan koleksi aksesorisnya
Ketika ditanyai tentang impiannya dimasa kecil, ia langsung menjawab dirinya ingin menjadi supir truk trailer. “Saya lihat mereka begitu gagah saat mengendarai truk dengan muatan yang besar,” ungkapnya sambil tertawa.
Bakatnya dalam dunia satra tampak ketika ia menginjak bangku Menengah Atas. Penggemar moge (Motor Gedhe) itu sempat menjadi juara pertama lomba baca puisi (deklamasi) tingkat kabupaten Lumajang selama tiga tahun bertururt-turut. Selain itu, ia menjadi pioner berdirinya mading pertama SMA Negeri 1 Lumajang yang bernama Dialogia.
Karena bakat menulisnya itu ia mendapat dukungan dari guru SMA-nya untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi ke Akademi Wartawan Surabaya (AWS) pada tahun 1975. Kemudian mantan redaksi Acta Surya ini mencoba melamar ke TVRI saat ia menginjak tingkat tiga. “waktu itu Om Didit ngalamar bersama teman-teman lain, dari
Setelah itu terpaksa ia meninggalkan kuliahnya untuk tugas di
Suka duka ia alami di TVRI. Ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi program acara berita Jatim, ia begitu senang ketika berita yang ditayangkannya merupakan berita yang aktual. “Setiap saat menjelang deadline kita selalu dibuat deg-degan. Karena waktu itu kan proses produksi dilakukan secara manual, jadi memerlukan waktu yang lama disamping dituntut untuk on time dalam menyampaikan berita, kita hanya bersaing dengan waktu, karena saat itu hanya TVRI satu-satunya stasiun televisi yang ada di Indonesia,” jelas suami Budha Ersa ini.
Pria yang identik dengan kalung yang melingkar dilehernya itu mengaku suka dengan hal-hal yang unik, contohnya ketika ia menciptakan program acara ‘Rona-Rona’ yang diminati banyak pemirsa. Berkat program acara berita ringan tersebut dapat membawanya mengunjungi
Karena profesi dan jam terbang yang dimilikinya, ia menciptakan suatu gagasan untuk mendirikan sanggar alang@lang pada 16 April 1999. Ia merangkul para anak terlantar untuk dilatih dengan berbagai keterampilan. Seperti Siti dan Dayat yang sempat mengikuti acara idola cilik di RCTI.
Selama ini banyak anggapan jika anjal (anak jalanan) disebut sebagai penyakit sosial dan sampah masyarakat yang mengganggu ketertiban serta keindahan
Anak-anak yang kurang beruntung tersebut disebutnya dengan sapaan Anak Negeri. Ia berharap kedepan tidak ada lagi anjal yang masih berkeliaran di jalanan
Ia berharap sanggar alang@lang miliknya dapat memiliki tempat sendiri. “Selama ini kita masih ngontrak, jadi saya ingin punya tempat sendiri buat anak-anak, disamping harga sewa tempat yang terus naik tiap tahunnya,” ujarnya diakhir wawancara. (T/F: Subagus Indra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar