Senin, 19 Oktober 2009

Berjuang dengan Pisang

Mengenakan daster merah, Siti duduk seorang diri diatas sebuah bangku panjang malam itu. Disampingnya berjajaran lebih dari 10 tundun pisang segar yang siap untuk dijual.

Ketika ditanyai usianya kini, ibu dari empat anak ini mengaku lupa, tapi kemudian ia mencoba menerka berapa umurnya saat ini. “Kalau nggak salah umur saya sekarang sekitar 40 tahunan mas,” jawabnya sambil mengerutkan kening. Ia adalah salah satu penjual pisang yang menjajakan dagangannya di area pasar keputran, Surabaya, tepatnya di dekat pintu masuk sebelah selatan. “Sebenarnya ini lapak punya nenek, saya hanya bantu jaga saja,” tutur wanita yang bertempat tinggal didaerah Bagong tersebut.

.Di pasar tradisional yang berusia 136 tahun itu, wanita asal Sampang ini setiap hari menawarkan aneka macam pisang dari pukul empat pagi hingga pukul sembilan malam. “Ada pisang ambon, pisang kepok, pisang susu, pisang raja, pisang lumajang dan masih ada yang lainnya, biasanya satu tundun pisang dijual 70-75 ribu rupiah, tergantung besarnya,” jelasnya.

Pisang-pisang tersebut dipasok dari Lumajang. Dalam satu minggu ada dua kali pengiriman, yaitu Senin dan Jumat. Selain berdagang di daerah tersebut. Ia juga menjajakan pisangnya di pasar keputran lama, disitu juga menjadi gudang penyimpanan pisang-pisang yang akan dijualnya. “Saya dan mbah bergantian jaga,” imbuhnya.

Ditanyai soal penghasilan, ia tak ingin mengatakan jelas. “Ya, pokoknya tak tentu mas, kalau dibilang cukup itu terkadang masih kurang, tapi kalau bilang kurang itu juga sudah cukup buat keperluan sehari-hari,” tukasnya.

Sama dengan pedagang lain, penerangan yang digunakan untuk berdagang pada malam hari didapat dari lampu yang disewakan pengelola pasar. “Ya, cukuplah, harga sewanya juga terjangkau, cuma dua ribu rupiah per malam,” ujarnya sambil tersenyum.

Meski begitu, hidup di kota besar memang tidaklah mudah. Banyak tuntutan yang harus dipenuhi demi kelangsungan hidup, khususnya kebutuhan ekonomi. Hal tersebut dibenarkan Siti. Istri seorang kuli besi bernama Fadhil di daerah Bagong itu mengaku kesulitan menyambung hidup keluarganya. Penghasilan suaminya tidak bisa dijadikan patokan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “Apalagi bapak baru masuk karangmenjangan karena sakit paru-paru. Alhamdulillah, sekarang sudah bisa bekerja kembali,” tuturnya.

Beban hidupnya tak hanya sampai disitu, ia harus berjuang dalam keterbatasan dengan satu anak laki-laki dan tiga anak perempuannya. “Alhamdulillah, anak sulung saya yang laki-laki sudah bekerja. Kemudian adiknya juga sudah lulus SMA, sekarang sibuk jadi guru les privat anak SD dirumah. Sekarang tinggal dua saja tanggungan kami, yang satu sudah kelas enam SD, dan si bungsu masih umur tiga tahun,” tuturnya. “Anak saya yang baru lulus dari SMA 9 kemarin nggak jadi masuk Unair, soalnya uangnya nggak cukup,” imbuhnya.

Wanita kelahiran Surabaya ini juga lancar berbicara menggunakan bahasa jawa, selain fasih berbahsa daerahnya madura. Ia berharap nantinya ia dapat membuka lapak dan berjualan sendiri tanpa bergantung lagi pada neneknya. Kulo pengen saged sadean piyambak mas,” akunya.(T: Subagus Indra)