Minggu, 22 November 2009

Demo Mahasiswa Hiasi Dies Natalis Stikosa-AWS


Bertepatan dengan perayaan dies natalies Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) ke-45. Minggu (15/11) pagi, kelompok Mahasiswa yang terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan komunitas Stikosa-AWS, mengadakan aksi demonstrasi secara damai di pelataran parkir kampus menuntut pembagian ruang sekretariat.

“Tuntutan kami tujukan pada pihak akademik terkait pembangunan sekretariat yang tidak sesuai dengan persetujuan yang telah dibuat satu tahun yang lalu,” ungkap Helmy Yuniar, presiden BEM Stikosa-AWS disela Aksi berlangsung.

Aksi dilakukan saat rangkaian kegiatan berlangsung. Mereka memajang spanduk acara yang pernah diselenggarakan masing-masing Organisasi Mahasiswa (Ormawa). Diantaranya teater Lingkar, Prapala, Himmarfi, Surabaya Muda, Kopi dan BEM. “Ini bertujuan untuk menunjukkan pada akademik tentang kontribusi kita mengharumkan nama Stikosa-AWS diluar,” Imbuhnya.

Selain itu, Aksi diam kali ini juga diwarnai dengan tulisan dan gambar yang menggambarkan isi hati mereka. Seperti ‘kembalikan rumah kreatif kami’ dan gambar sapi perah yang kurus. “Jika aksi diam kali ini tidakmenghasilkan hasil kongret dari akademik, sampai batas waktu satu minggu yang kita berikan, kami siap melakukan aksi yang lebih besar,” Ujarnya

Selain dihadiri Anggota civitas Akademika, Mahasiswa, Alumni serta warga sekitar kampus, perayaan tersebut juga dihadiri beberapa petinggi yayasan pendidikan wartawan Jawa Timur yang menjadi penaung Stikosa-AWS, diantaranya Basofi Sudirman yang merupakan ketua pembimbing, Ketua harian Dhimam Abror, serta Anggota yayasan Herkusno dan Tjuk Suwarsono. (T/F: Subagus Indra)

Selasa, 17 November 2009

Manis Tak Berujung, Es Goyobod Bandung


Serutan kelapa muda berpadu dengan gula aren, goyobod dan pasrahan batu es, puaskan rasa dahaga.

Bagi pecinta es di Surabaya, kini ada alternatif baru untuk Anda, Es goyobod. Di kota pahlawan, minuman asli Bandung ini baru di temukan satu penjual saja. Diatas sebuah gerobak, setiap hari mulai dari jam 17.00 WIB Anda dapat menjumpainya di jalan Kertajaya Gg VII-C.

Goyobod, telinga orang Jawa Timur asing mendengar nama tersebut. Bahan dasarnya terbuat dari tepung kanji pohon aren yang diendapkan hingga menyerupai agar-agar. Kita dapat menemukan cita rasa agar-agar yang manis dan sedikit kenyal. Warnanya hijau yang nampak segar akan mengundang selera untuk menikmatinya.

Penyajian es goyobod sungguh menggoda. Dikombinasikan dengan manis gula aren, lembutnya serutan kelapa muda, dingin pasrahan batu es, sensasi roti tawar, kolang-kaling, mutiara dan siraman susu kental manis diatasnya. Membuat sajian semakin cantik. Benar-benar sajian yang nikmat dan bergizi.

Uniknya, Ketebalan serutan kelapa muda dapat mempengaruhi rasa yang didapatkan. Makin tipis serutan, makin nikmat rasanya. Tergantung keahlian penjual dalam mengolah kelapa muda.

Di daerah asalnya, es goyobod dilengkapi dengan alpukat. Harga alpukat di Surabaya yang tidak menentu dan relatif mahal, membuat si penjulal tidak menambahkannya di kota ini. Untuk menyiasatinya, goyobod yang memiliki warna dasar putih, disulap menjadi warna hijau agar menyerupai alpukat dengan mencampurkan pasta.

Selain itu, perbedaan lain dengan yang ada di kota asalnya adalah kandungan gula aren yang dicampurkan. Di Surabaya lebih manis dari pada di Bandung. “Karena orang sini suka rasa yang lebih manis,” tutur Nanang Supriatna, satu-satunya penjual es goyobod di Surabaya.

Nanang mengolah sendiri hampir semua bahan es goyobod, dari goyobod, mutiara sampai gula aren. Untuk gula aren, nanang mengkombinasikan gula merah dengan gula jawa, menghasilkan sensasi manis yang tak berujung.
“Butuh keahlian khusus untuk membuat gulanya. Dulu dapat dikirim langsung dari Bandung. Tapi sekarang sudah bisa buat sendiri,” ujarnya.

Dulu, ketika petani panen, ibu-ibu berduyun-duyun membawa es goyobod datang ke sawah untuk menukarkannya dengan hasil panen. “Es goyobod biasanya ditukarkan dengan jagung. Selain itu, juga bisa digunakan untuk obat sakit dalam,” imbuh pemuda asli Garut ini.

Es goyobod sudah banyak peminatnya di Bandung dan Jakarta, Anda dapat menikmati sajian manis kaya gizi ini hanya dengan harga 4000 rupiah per porsinya. Suasana malam sambil meneguk segarnya es goyobod di kaki lima begitu asyik dan sayang untuk dilewatkan. Bagaimana, Anda berminat mencobanya? (T/F: Subagus Indra)

Sabtu, 14 November 2009

Simfoni Untuk Bangsa di Tugu Pahlawan

Menutup rangkaian acara Surabaya juang, dalam rangka memeringati hari pahlawan, Selasa (10/11) Surabaya menggelar konser musik dengan tajuk simfoni untuk bangsa. Dengan menggandeng salah satu televisi swasta dan perusahan rokok Indonesia, event yang diselenggarakan di tugu pahlawan tersebut diisi tiga grup band ternama Indonesia, Ungu, ST 12 dan The Changcuters.


Pagelaran yang dimulai pukul 19.30-22.00 WIB itu dibuka oleh penampilan Ungu yang berkolabirasi dengan Charly ST 12 lewat lagu ‘Hampa Hatiku’. Disusul ST 12 dan The Changcuters. Masing-masing membawakan lagu-lagu andalan mereka.

Untuk menghormati jasa pahlawan, masing-masing grup band juga membawakan satu lagu nasional yang sudah mereka aransemen ulang. Ungu membawakan lagu ‘Gugur Bunga’, ST 12 dengan ‘Berkibarlah Benderaku’ diiringi kibaran bendera merah putih oleh Paskibraka, dan The Changcuters menyulap lagu ‘Maju tak Gentar’ sesuai gaya musik khas mereka. “Seharusnya kita bangga dengan pahlawan yang sudah berkorban buat bangsa ini, berkat mereka sekarang kita bisa hidup enak, bisa sekolah enak, dan bisa blackberry-an,” Ujar Tria, vokalis The Changcuters.

Ia menambahkan, jangan sampai makna yang terkandung dalam peringatan hari pahlawan hilang atau bahkan tidak diketahui, karena hari pahlawan mempunyai esensi besar dalam perjuangan memeroleh kemerdekaan Indonesia seutuhnya.

Berbeda dengan tahun lalu, Acara terpaksa dihentikan akibat dirundung hujan ditengah konser, kali ini berjalan lancar. Namun, jatuhnya korban akibat
desakan antar penonton tak dapat dihindarkan. Akhir acara, ditutup dengan pertunjukan kembang api. (T/F: Subagus Indra)


Konser Sukses, Jukir Ndrenges


Kemeriahan konser simfoni untuk bangsa, Minggu (10/11) di tugu pahlawan tak hanya memuaskan penonton. Namun, pihak lain pun ikut merasa hal serupa, khususnya Jukir (juru parkir). Mereka meraup rezeki berlimpah berkat acara tersebut dengan menaikkan tarif parkir lima kali lipat dari hari biasa.

Suasana meriah itu nampak dari antusiasme penonton yang tinggi sampai totalitas penampilan artis pengisi acara. Selain itu, munculnya tempat parkir dadakan di sepanjang akses menuju tempat pagelaran ikut meramaikan acara tahunan itu.

Lutfhi, salah satu Jukir yang biasa mendirikan area parkir di jalan Kramat Gantung. Jika pada hari biasa ia hanya memasang tarif 1000 rupiah per motor, malam itu ia mematok tarif 5000 rupiah per motor.

Tak hanya Lutfhi, semua tempat parkir yang buka malam itu juga memasang tarif sama. “Ya, Alhamdulillah mas, kira-kira kurang lebih kita dapat 500 ribu rupiah,” aku pemuda yang bertempat tinggal di jalan Bundi tersebut.

Hal ini mendapat respon positif dari masyarakat yang menggunakan jasa parkir itu. “Nggak apa-apa, yang penting aman,” Ujar Reza, salah satu orang yang parkir di tempat itu. Untuk keamanan dan kelancaran, lutfhi dibantu enam orang temannya menjaga area parkir sepanjang lebih kurang 50 meter. (T/F: Subagus Indra)

Selasa, 10 November 2009

Smamda Gelar Diklat Gabungan Ekstra Kurikuler

>

SMA 2 Muhammadiyah Surabaya baru saja menyelenggarakan diklat gabungan ekstra kurikuler (Dikstar) 2009. Acara yang diselenggarakan 6 – 8 November tersebut digelar di wana wisata Coban Rondo. Didukung 13 ekstra kurikuler (ekskul), acara yang menggunakan konsep outdoor activity tersebut diikuti seluruh siswa dari kelas X sebagai peserta.

Ekskul yang ikut meramaikan acara tersebut diantaranya, sepak bola, basket, soft ball, bulu tangkis, fotografi, cinematografi, jurnalistik, presenter, teater, paduan suara, nasyid, paskibraka dan pecinta alam.

Peserta yang kebanyakan dari kelas X bebas memilih satu ekskul yang mereka minati. Masalah tekhnis menejemen diklat diserahkan kepada masing-masing ekskul yang terlibat. Panitia berasal dari kelas XI dan XII disertai pendamping dan guru pembimbing.

Acara yang menggunakan fasilitas enam tenda barak ini selain bertujuan untuk menarik murid dalam kegiatan ekstra sekolah, juga mengajak siswa-siswinya ikut merasakan sama seperti para korban bencana alam yang menghabiskan harinya di tenda pengungsian. “Dengan begini kita jadi tahu bagaimana rasanya hidup di tenda. Khususnya anak-anak yang biasanya bermalas-malasan dengan berbagai fasilitas yang ada di rumah, jadi tidak lagi disini,” Jelas Supriyadi selaku ketua pelaksana Dikstar 2009

Supriyadi menambahkan acara ini berguna untuk siswa-siswi smamda sebagai penyalur hobi mereka. “Yang terpenting siswa-siswi bisa mengatur porsi waktu untuk belajar dan berkegiatan di ekskul agar jadi seimbang,” Ujarnya.

“Acara ini sangat seru, kita dapat banyak hal disini,” tutur Rina, salah satu peserta diklat ekskul pecinta alam.

“Semoga tahun depan kita dapat melaksanakan acara seperti ini kembali, tentunya dengan beberapa catatan sebagai acuan untuk menjadi lebih baik,” ujar Supriyadi saat upacara penutupan. (T: Subagus Indra/F: dok. smamda)

Minggu, 01 November 2009

TVS Hadirkan Iwan Fals di Surabaya


Lama tak muncul di Surabaya, Iwan Fals, pelantun lagu ‘Manusia Setengah Dewa’ itu menuai rindu para penggemarnya. Sabtu (24/10) bertempat di pelataran dealer motor Trust Valoe Service (TVC) Jalan Ahmad Yani Surabaya. Orang Indonesia (OI) serta puluhan pengguna motor TVS yang tergabung dalam TVS Motor Community (TMC) dibuatnya larut dalam lagu-lagu yang dibawakannya.
Iwan tidak sendi
rian, melainkan ditemani Totok Tewel yang mengiringi aksi panggungnya dengan memainkan gitar akustik. Dalam aksinya tersebut mereka mempersembahkan 4 lagu, yaitu Kuda Cokelat, Bunga Kehidupan, Hio, dan Bencana Alam. “Lagu tersebut sengaja kami pilih dan sajikan kepada masyarakat Surabaya sebagai bentuk keprihatinan terhadap bancana-bancana di Indoneisa,” tutur Iwan.
Acara yang dibuka gratis untuk umum tersebut di mulai dari 21 – 29 0ktober 2009 ini merupakan rangkaian acara kunjungan Iwan sebagai Brand ambassador ke beberapa dealer TVS di Jawa Timur, antara lain: Gresik, Jember, Banyuwangi, Pasuruan, Malang, Blitar, Nganjuk, Kediri dan Surabaya.
Menurut Nurlida Fatmikasari selaku Corporate Comminications PT. TVS Motor Company Indonesia, tujuan diadakannya acara tersebut tidak lain untuk lebih mendekatkan merk TVS Motor dengan para customer setia. “Selain bertujuan untuk menajamkan
image, kami juga mengenalkan produk baru TVS Rocksz yang memiliki keunggulan technologi integrated music system dan anti maling (ATL System). Selain itu, TVS juga membagikan sumbangan senilai 7,5 Juta Rupiah kepada panti asuhan. Dana tersebut sebagian diambil Rp. 50 ribu dari pelanggan yang sudah melakukan transaksi pembelian motor TVS,” jelasnya.
Iwan Fals sengaja dipilih oleh TVS sebagai Brand ambassador kerena dianggap memiliki filosofi, visi misi yang sama. Yaitu kepercayaan dengan nilai tambah serta melayani dan mencintai Indonesia”, ungkap wanita yang memiliki sapaan akrab Mieke tersebut.
Acara yng berakhir pukul 18.30 WIB tersebut dihadiri Bambang Setiawan General Manager PT. Perdana Raya Mandiri selaku distributor TVS motor wilayah Jawa Timur, serta Zulfi Satria selaku area Manager PT TVS Motor Company Indonesia wilayah Jawa Timur. (T: Subagus Indra/ F: Dhimas P)

Senin, 19 Oktober 2009

Berjuang dengan Pisang

Mengenakan daster merah, Siti duduk seorang diri diatas sebuah bangku panjang malam itu. Disampingnya berjajaran lebih dari 10 tundun pisang segar yang siap untuk dijual.

Ketika ditanyai usianya kini, ibu dari empat anak ini mengaku lupa, tapi kemudian ia mencoba menerka berapa umurnya saat ini. “Kalau nggak salah umur saya sekarang sekitar 40 tahunan mas,” jawabnya sambil mengerutkan kening. Ia adalah salah satu penjual pisang yang menjajakan dagangannya di area pasar keputran, Surabaya, tepatnya di dekat pintu masuk sebelah selatan. “Sebenarnya ini lapak punya nenek, saya hanya bantu jaga saja,” tutur wanita yang bertempat tinggal didaerah Bagong tersebut.

.Di pasar tradisional yang berusia 136 tahun itu, wanita asal Sampang ini setiap hari menawarkan aneka macam pisang dari pukul empat pagi hingga pukul sembilan malam. “Ada pisang ambon, pisang kepok, pisang susu, pisang raja, pisang lumajang dan masih ada yang lainnya, biasanya satu tundun pisang dijual 70-75 ribu rupiah, tergantung besarnya,” jelasnya.

Pisang-pisang tersebut dipasok dari Lumajang. Dalam satu minggu ada dua kali pengiriman, yaitu Senin dan Jumat. Selain berdagang di daerah tersebut. Ia juga menjajakan pisangnya di pasar keputran lama, disitu juga menjadi gudang penyimpanan pisang-pisang yang akan dijualnya. “Saya dan mbah bergantian jaga,” imbuhnya.

Ditanyai soal penghasilan, ia tak ingin mengatakan jelas. “Ya, pokoknya tak tentu mas, kalau dibilang cukup itu terkadang masih kurang, tapi kalau bilang kurang itu juga sudah cukup buat keperluan sehari-hari,” tukasnya.

Sama dengan pedagang lain, penerangan yang digunakan untuk berdagang pada malam hari didapat dari lampu yang disewakan pengelola pasar. “Ya, cukuplah, harga sewanya juga terjangkau, cuma dua ribu rupiah per malam,” ujarnya sambil tersenyum.

Meski begitu, hidup di kota besar memang tidaklah mudah. Banyak tuntutan yang harus dipenuhi demi kelangsungan hidup, khususnya kebutuhan ekonomi. Hal tersebut dibenarkan Siti. Istri seorang kuli besi bernama Fadhil di daerah Bagong itu mengaku kesulitan menyambung hidup keluarganya. Penghasilan suaminya tidak bisa dijadikan patokan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “Apalagi bapak baru masuk karangmenjangan karena sakit paru-paru. Alhamdulillah, sekarang sudah bisa bekerja kembali,” tuturnya.

Beban hidupnya tak hanya sampai disitu, ia harus berjuang dalam keterbatasan dengan satu anak laki-laki dan tiga anak perempuannya. “Alhamdulillah, anak sulung saya yang laki-laki sudah bekerja. Kemudian adiknya juga sudah lulus SMA, sekarang sibuk jadi guru les privat anak SD dirumah. Sekarang tinggal dua saja tanggungan kami, yang satu sudah kelas enam SD, dan si bungsu masih umur tiga tahun,” tuturnya. “Anak saya yang baru lulus dari SMA 9 kemarin nggak jadi masuk Unair, soalnya uangnya nggak cukup,” imbuhnya.

Wanita kelahiran Surabaya ini juga lancar berbicara menggunakan bahasa jawa, selain fasih berbahsa daerahnya madura. Ia berharap nantinya ia dapat membuka lapak dan berjualan sendiri tanpa bergantung lagi pada neneknya. Kulo pengen saged sadean piyambak mas,” akunya.(T: Subagus Indra)

Selasa, 22 September 2009

Mudik Memuncak, Optimalkan Jalur Alternatif

Jum'at (18/09) bertepatan H-2 arus mudik 2009, jalur Surabaya - Kediri mengalami kemacetan di Kertosono. Untuk mengatasi hal tersebut, bagi pemudik dari arah Surabaya, polisi membukakan jalur alternatif di Mojoagung, Jombang hingfga tembus Pare, Kediri.

Pemudik bermotor tak mau ketinggalan, bersama anak, istri dan barang bawaan yang tak jarang sampai over loaded, menyusuri jalanan ke kampung halaman. Untuk menghindari kemacetan yang lebih panjang, mereka yang dari arah Surabaya diinstruksikan untuk menggunakan jalur alternatif tersebut.

Memang sebelumnya telah diprediksi puncak arus mudik terjadi pada H-2. Dari data yang diperoleh dari detik.com, pada H-2 mudik, sedikitnya 2000 kendaraan roda empat dan 4000 kendaraan roda dua melintas tiap jamnya dari Surabaya menuju Kediri dan Madiun. (T: Subagus Indra)

Jumat, 18 September 2009

Prapala Road to Civilization Button Island

Menguak Peradaban Pulau 1000 Benteng

Pulau Buton menyimpan banyak sisa peradaban kuno. Seperti benteng-benteng pertahanan kerajaan dan tempat yang lainnya. Namun keberagaman artefak tersebut belum diexpose banyak orang. Hal tersebut yang menggelitik UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Prapala (Prapanca Pecinta Alam) Stikosa-AWS menjadikan pulau yang dijuluki pulau 1000 benteng tersebut sebagai tujuan tempat penggarapan tugas akhir angkatan mudanya.

`Acara yang dilaksanakan 5-25 Agustus lalu tersebut tidak hanya berlabuh di pulau Buton saja. tapi, sebelumnya rombongan juga sempat singgah di kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. “Perjalanan membutuhkan waktu tiga hari dua malam, ditempuh menggunakan kapal laut. Disana kita juga dibantu keluarga prapala angkatan 1999 yang memang menetap disana,” Ujar Laurencius Monday selaku ketua umum Prapala.

“Dari browsing Internet kita punya tiga opsi tempat, ada Jawa, Sumatra dan Sulawesi. Jawa memang punya banyak tempat, tapi kebanyakan sudah banyak orang yang tahu. Jadi, kita pilih Sulawesi Tenggara khususnya pulau Buton untuk kita kupas peradabannya, karena banyak tempat disana yang perlu dikenalkan,” Jelas mahasiswa yang akrab disapa Olen ini.

“Ini memang program kerja Prapala setiap tahunnya, tujuannya untuk tugas akhir angkatan muda sebelum naik tingkat menjadi angkatan biasa,” imbuhnya.

Prapala memfokuskan pembuatan tugas akhir angkatan mudanya pada bidang jurnalistik, linier dengan basic ilmu yang diajarkan Stikosa-AWS. “Semuanya kita dasarkan pada ilmu jurnalistik. Ada tulis, fotografi dan video recording,” tukasnya.

Unit kegiatan para pecinta alam tersebut memberangkatkan tiga angkatan mudanya, Prestiandini Adila (Cebong), Rory Nurmawati (Corong) dan Fajar Rulianto (Lepek). Disana mereka dibimbing tiga senior yang kompeten pada bidang fotografi, tulis dan video recording. Yudi Dwi Anggoro (Gombal), Dian Kurniawan (Semprong) dan Laurencius Monday (Letheg).

Kegiatan yang berlangsung tak selalu berjalan mulus. Disana tim dipersulit dengan sistem birokrasi yang berjalan. “Kendala kita hanya berada sistem birokrasi, seperti perizinan dan lain-lain,” paparnya.

Rencananya dari acara Prapala road to civilitation Button island ini, Oktober akan diselenggarakan acara lanjutan untuk menunujukan hasil petualangannya di Sulawesi Tenggara. “Mungkin kita juga akan mengundang perwakilan dari disparta, karena selain memperkenalkan tempat-tempat baru di Sulawesi Tenggara yang berpotensi menjadi tempat wisata, kita nanti juga ingin sharing budaya,” ulas pemilik rambut gimbal tersebut. (T: Subagus Indra /F: Yudhi ‘Gombal’ Prapala)

Sembunyikan Nama Sampai Direct Film Panjang


Mbek, nama yang dapat menggiring pikiran manusia pada seekor kambing. Tapi, jangan samakan Mbek yang satu ini dengan hewan mamalia tersebut.

Sosok ini punya segudang cerita dan pengalaman tentang dunia perfilman. 13 kali menyutradarai film independent (indie) dan tiga kali terjun dalam pembuatan film panjang merupakan sekelumit prestasi yang dimilikinya. “kalau aku belum men-direct film panjang, nama asliku nggak akan aku sebutkan,” nadzar yang terucap dari pria berumur 27 tahun tersebut.

Tak hanya itu saja, karena begitu getol keinginannya untuk membuat film panjang, sampai-sampai ia memutuskan untuk selalu memakai baju dengan terbalik hingga impiannya tersebut terwujud. Tak disangka gaya berpakaiannya yang seperti itu, kini menjadi ciri khas yang melekat pada dirinya, selain topi, kacamata dan tato dilengan kirinya.

Banyak karya film yang telah ia ciptakan. Khususnya film indie “Dari 13 film independent yang pernah ku buat, ada tiga film yang paling berkesan Summer Romance, Lowongan Pekerjaan dan Bisikan Senja,” tutur

Dari film Lowongan Pekerjaan (LP) dapat membawa Mbek sampai ke Jepang. Karena film yang diproduksi tahun 2008 ini berhasil masuk menjadi nominasi Sapporro Sort Fest. Sebuah festival film pendek yang diadakan di Sapporro, Jepang. “Rasanya bangga banget karena LP satu-satunya film dari Indonesia yang bisa nimbus sampai sana,” ujarnya.

Ia pun juga pernah menggarap video klip grup band kenamaan, seperti Olif, Soulmade, Andezz dan Farabi Gading All Star. Tak hanya itu, pria asli Surabaya ini juga beberapa kali menggarap film panjang sebagai astrada (Asisten Sutradara). Diantaranya Sang Dewi, Crazy In Thailand dan Serigala Terakhir.

“Baik indie maupun industry, semuanya menyenangkan, hanya perbedaannya, kalau di jalur indie aku bisa menampilkan semua yang kuinginkan, karena tidak ada aturan-aturan yang mengikat dalam berkarya,” ulasnya.

Ia mengimbuhkan jika kendala di jalur indie adalah masalah dana, perlengkapan, peralatan dan lain-lain. Hal ini tak terjadi jika berada di jalur industry. “Semua serba mudah, dari dana sampai peralatan semua terjamin, musuh kita hanya waktu,” paparnya.

Awalnya pria yang sempat kuliah di Stikom (Sekolah Tinggi Ilmu Komputer) Surabaya ini tertarik dalam bidang musik dan informatika. Kemudian dunia perfilman menarik hatinya untuk berkecimpung didalamnya. “Disini aku dapat berkarya bebas, misalnya aku nggak suka sama orang, aku bisa visualisasikan dalam bentuk film,” ungkapnya.

Meskipun belum sekalipun mendapatkan award, tetapi bila berandai-andai mendapatkan award, Mbek pertama kali akan mengucapkan terima kasih pada Ibundanya, Supriyatiningsih. “Mama selalu melarang minatku ini, Mama lebih mendukung ku untuk jadi dokter,” terang pria sulung dari tiga bersaudara tersebut.

Berkat dunia barunya ini, Mbek berkesempatan untuk menjejakkan kakinya ke banyak tempat, termasuk ketika ia menimba ilmu di negeri kanguru, Australia. ”Dari sini aku bisa kemana saja, keliling Indonesia bahkan keliling dunia. Aku berkesempatan belajar di Summer Film School, Melbourn, berkat beasiswa yang ku dapatkan,” aku pria yang masa sekolah dasarnya dihabiskan di SDN Ketabang V ini.

Nasionalisme Mbek

Ada hal menarik jika menilik sisi lain pria kelahiran 27 Mei 1982 ini, ia mengaku memiliki rasa nasionalis yang besar. “Aku ini termasuk orang yang nasionalis banget,” ungkapnya.

Ia menambahkan jika sebetulnya yang terpenting bukanlah kata-kata yang dilontarkan tentang nasionalis tersebut, tapi yang penting adalah rasa yang tertanam pada dalam dirinya. ”Biarpun sepatuku import, tapi aku tetap pilih warna yang merah putih,” ungkapnya sambil menunjukkan sepatunya.

Ada rasa kebanggaan waktu aku pakai baju batik saat festival film pendek di Sapporo,” ujarnya. Ia mengimbuhkan jika di Jakarta ia memiliki komunitas kecil yang anggotanya memiliki rasa nasionalisme terhadap Indonesia. (T:Subagus Indra/F: Dhimas Prasaja)

Perjuangan Jurnalis Orba


Sepak terjangnya dalam dunia jurnalistik memang perlu diakui. Tempo, Prospek dan Gatra pernah ditunggangi untuk memacu goresan tintanya.

Heri Muhammad memiliki kecintaan yang besar dalam berorganisasi, hal tersebut menjadi bekalnya terjun dalam dunia kerja. Seperti turut berkecimpung dalam keredaksionalan LPM Akademika Universitas Sunan Giri, menjadi pengurus badan komukasi masjid Al-Falah dan menjadi pemrakarsa berdirinya Yayasan Dana Sosial pada tahun 1986.

Awal karir kewartawanan pria asli Sepanjang, Sidoarjo ini dimulai tahun 1987. Ia menjadi wartawan majalah tempo selama tiga tahun, yaitu sampai saat dibredelnya majalah politik itu ditahun 1990, karena kasus pembongkaran rahasia Negara yang dilakukannya.

“Saat Tempo dibredel, banyak wartawan yang keluar, termasuk juga saya didalamnya. Hanya tersisa kurang dari 40 persen keseluruhan jumlah wartawan yang ada,” Tutur pria 49 tahun tersebut.

Kemudian para wartawan yang keluar dari majalah Tempo tersebut berkumpul dan mendirikan media baru yang diberi nama Prospek, sebuah majalah ekonomi. “Prospek tidak bertahan lama, hanya empat tahun kita berdiri. Kemudian berhenti berproduksi karena terkendala dana,” Ungkap pria berperawakan tegap ini.

Perjuangannya menjadi wartawan di era orde baru tidaklah mudah. Karena itu setelah gagal bersama Prospek, kemudian ia dan kawan-kawan mendirikan Majalah Gatra tahun 1994. Menurutnya wartawan kala itu penuh kerja keras dan rintangan dalam tugas peliputannya. “Wartawan orde baru tidak bisa seenaknya dalam mencari berita. Semuanya diatur, ada list tentang hal apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh, terutama jika pemberitaannya menyinggung keluarga Soeharto,” Imbuhnya.

“Kita harus pandai-pandai mensiasati hal-hal seperti ini. Banyak cara yang dapat dilakukan, Seperti menyinggung permasalahan utama lewat masalah-masalah pendukung, permainan kata dan kalimat dalam penulisan, terus memperbaiki dan berusaha selangkah lebih maju,” Jelas Pria kelahiran Surabaya, 7 Mei 1960 tersebut.

Dalam meraih jabatan Redaktur Pelaksana yang disandangnya kini, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia perlu melalui berbagai tahapan kerja

Jam terbang yang tinggi menuntutnya untuk menularkan ilmu yang ia miliki. Salah satu cara yang ia pergunakan dengan membuat buku. Seperti Reportase Dakwah, Aa’ Gym Menjaga Hati Mencari Ridho Ilahi, Tokoh-tokoh Islam Paling Berpengaruh Abad 20 dan 44 Teladan Kepemimpinan Muhammad. “Karena saya dilahirkan dilingkungan muslim, menjadikan inspirasi bagi saya membuat buku-buku bernuansa islami,” Tutur Suami dari Hanimah Ritah ini. (T:Subagus Indra/F: Dhimas Prasaja)

Senin, 27 Juli 2009

Odie dan Project Pop


Surabaya bukanlah kota yang asing lagi bagi grup vocal Project Pop. Kurang lebih selama dua tahun, grup vocal asal bandung ini selalu bolak-balik Bandung-Surabaya untuk mengisi acara sebuah stasiun televisi, yang saat itu masih bertempat di kota Pahlawan.

“Dulu, sekitar tahun 1996, waktu kita masih ngisi acara di SCTV, setiap seminggu sekali kita pasti ke Surabaya, kan dulu studionya ada di Surabaya,” kata Odie salah satu personil Project Pop.
“Yang paling kita kangenin dari Surabaya itu soto yang ada di jalan Semeru. Setiap sampai di Surabaya, tempat pertama yang kita datingin ya warung soto jalan Semeru,” tutur Oon personil Project Pop yang bertubuh besar.
Project Pop dikenal dengan music-musik parodinya. Lagu-lagu mereka seperti Dangdut is the music of my country, bukan superstar, jan
gan ganggu banci, pacarku superstar, metal versus dugem dan masih banyak yang lainnya, tak jarang dapat mengocok perut setiap pendengarnya.
Dalam proses penciptaan music, merek
a kebanyakan diilhami dari aktifitas sehari-hari. “Kebanyakan yang sering buat lagu itu si Yossi, diantara kita memang dia yang paling kreatif. Jadi setiap ada kejadian unik, langsung ditulis, akhirnya jadi lagu deh. Terus buat musiknya juga asal-asalan, Cuma kita punya arranger yang tahu setiap yang kita inginkan tentang music kita,” ungkap odie.
Bila menengok personil Project Pop yang berjumlah enam orang ini. Tak banyak orang tahu siapa nama lengkap para pen
unggang grup vocal beraliran parodi ini, diantaranya ada Kartika Rachel Setia Rejeki Panggabean (Tika), Wahyu Rudi Astadi (Odie), Djoni Permato (Udjo), Mochammad Fachroni (Oon), Hermann Josis Makallu (Yossi) dan Gumilar Nurrochman (Gugum).
Masa sulit maupun senang ernah rasakan dalam perjalanan karinya selama 13 tahun mereka berdiri. “Yang paling berkesan tentang masa sulit kita itu, kita pernah manggung didepan 14 penonton saja. Kita mah asyik aja, jadi kita main (bernyanyi) kayak latihan,” ujar odie sambil tertawa.
Memang pada 1997, beriringan dengan krisis moneter yang melanda negeri ini, tak melewatkan Project Pop dari jurang kesulitan ekono
mi para personilnya. “Waktu itu kita sempet ngamen bareng buat nyambung hidup kita mas. Tuntutan hidup waktu itu juga susah, apa-apa mahal, jadi kita harus kreatif,” jelasnya.
Sekarang berkat kerja keras dan totaslitasnya, banyak fasilitas mewah dapat mereka nikmati. “Kita nggak pernah nyangka kalau sekarang kita sudah bisa nggunain fasilitas-fasilitas mewah, dulu semuanya serba terbatas, sekarang kita bisa nginap di hotel mewah sekelas hotel JW Mariot,” aku bapak dua anak ini.
Diakhir wawancara mereka berpesan untuk generasi muda agar lebih total dalam berkreasi. “Anak muda sekarang yang dipikirin Cu
ma uang, mereka kurang total dalam berekspresi. Seharusnya mereka lebih focus dalam berkarya, itu saja.”.(T: Subagus Indra/ F: Qusnul T)


Milku Shop Café Yoghurt aneka rasa


Teksturnya lembut dan kental. Dengan rasanya yang asam segar, membuat yoghurt banyak digemari. Bukan hanya kaya manfaat, minuman ini juga dapat menjadi ladang rezeki.

Bila susu murni saja sudah kaya akan manfaat, apalagi yoghurt, minuman hasil fermentasi susu ini. Mungkin hal ini yang mengilhami warga Turki untuk membuat yoghurt. Awalnya mereka menyimpan susu hasil perahannya pada kantung yang terbuat dari kulit domba. Kemudian susu terfermentasi oleh bakteri menjadi asam, teksturnya mengental, namun tidak basi. Namun sekarang proses pembuatannya sudah lebih higienis dan modern. Di Surabaya sendiri, ada Milku Shop, yang menyajikan pilihan menu dengan bahan dasar susu, salah satunya yoghurt. “Selain susu dalam kemasan, kami juga menyediakan yoghurt, pudding, es krim dan samosa,” ungkap Jamil, supervisor Milku Shop.

Tidak hanya rasa tawar, café susu ini memanjakan pelanggannya dengan berbagai macam pilihan rasa yoghurt. seperti rasa leci, melon, strawberry, blueberry dan pandan. “Rasa yang ada pada yoghurt berasal dari buah-buahan alami. Kami meraciknya sendiri, tentunya ditambah kreatifitas dari pemilik café,” tuturnya kepada Acta surya. Yoghurt olahan pabrik mereka yang berada di Jember ini, juga tidak mengandung pengawet. Oleh karenanya, minuman yoghurt yang disajikan di café yang terletak tidak jauh dari mesjid Al-Akbar Surabaya ini, tidak begitu tahan lama.

“Orang Arab senang mengkonsumsi yoghurt. Biasanya, yoghurt mereka gunakan untuk obat, bahan campuran sayur sampai masker. Kebetulan Bapak Adnan Muhammad, pemilik café ini juga orang keturunan Arab,” imbuh pria yang sudah bekerja selama dua tahun di café yang terletak di Jalan Gayung Sari Barat GA-17 ini.

Café susu ini ramai dikunjungi pelanggan tiap harinya. Pengunjung yang datang jumlahnya tidak tetap, Biasanya dalam satu hari, café ini bisa kedatangan 70 sampai 80 orang pembeli. Rata-rata mereka anak-anak, tetapi remaja dan dewasa juga kerap mengunjungi tempat ini. Seperti Safir, salah satu pelanggan tetap Milku Shop, “Saya sering datang ke tempat ini. Karena yoghurt disini lebih kental dibanding yang ada ditempat lain,” aku pria keturunan Arab ini.

Selain rasanya yang enak, yoghurt di café yang membuka cabang di G-Walk, Citraland, dan Ampel ini, terbilang relatif murah. Untuk kemasan cup 160 ml dibandrol harga Rp. 4.500, sedangkan kemasan peal 200 ml dihargai Rp. 45 ribu saja. Bila ingin mendapatkan yoghurt dengan tambahan rasa leci, melon, strawberry, atau blueberry, kita hanya mengeluarkan kocek sebesar Rp 6 ribu. Khusus rasa cocopandan, kita perlu merogoh kocek sedikit lebih banyak, Rp. 8 ribu.

Bangunannya bergaya minimalis. Luasnya kurang dari 10 meter persegi. Layaknya sebuah café, ditempat itu berjajaran kursi dan meja. Warna temboknya hitam dan putih, motifnya mirip kulit sapi. Sebagian dindingnya terbuat dari kaca, orang pun dapat melihat langsung bagian dalam cafe dari luar. Hanya membaca banner Milku Shop dan melihat warna temboknya, mungkin orang akan tahu bila tempat itu menjual susu.

Milku shop merupakan salah satu tempat alternatif bagi penyuka susu. Café yang berada tidak jauh dari masjid Al-Akbar Surabaya, tepatnya di jalan Gayung Sari Barat GA-17, ini menyajikan pilihan menu dengan bahan dasar susu. “Selain susu dalam kemasan, kami juga menyediakan yoghurt, pudding, es krim dan samosa,” ungkap Jamil supervisor milku shop

Selain nikmat dikonsumsi langsung, yoghurt dapat membuat makanan menjadi lebih lezat. Misalnya jika ditambahkan pada makanan arab, seperti satai atau olahan dari daging seperti shish kabab atau chicken tandori. Selain menambah nilai gizi, olahan daging akan lebih empuk, gurih dan lezat.

Minggu, 21 Juni 2009

18 Tahun Prapala

18 tahun sudah usia UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Prapala (Prapanca Pecinta Alam) Stikosa-AWS kini. “Bukanlah umur yang muda lagi. Ibarat manusia, kini ia telah dewasa, ia sudah mengenal mana yang baik dan yang buruk,” tutur seorang pioner berdirinya Prapala pada acara tasyakuran yang dihelat di lapangan paving Stikosa-AWS, Sabtu (6/6).



3 Juni merupakan tanggal bersejarah bagi UKM penggila tantangan ini. Tepat pada hari itu Prapala berdiri akibat dari rasa ketidak puasan mahasiswa atas stagnasi yang dialami organisasi-organisasi yang ada di kampus. “Kita melihat kurang adanya greget yang dimiliki organisasi kampus, saat itu ada senat yang angin-anginan, himmarfi juga, apalagi acta surya. Jadi kami memutuskan untuk mendirikan Prapala sebagai bentuk protes kami,” imbuhnya.

Akhirnya dengan awak sebanyak 50 orang, UKM baru di Stikosa-AWS didirikan. “Kenapa kita lebih memilih Prapanca ketimbang Stikosa-AWS?. Nama itu kita pilih untuk memberi identitas pada organisasi kita. Waktu itu yayasan Prapanca mempunyai Akpar yang berkembang lebih pesat dari pada Stikosa-AWS, jadi kita lebih memilih nama Prapanca tiu,” lanjut pria berperawakan tinggi tegap itu.

Di ulang tahunnya yang ke-18 ini Laurensius Monday selaku ketua Umum Prapala menyongsong motto mereka ‘Dengan kekeluargaan dan pengabdian kami datang’. Ia berharap agar Prapala dapatr terus eksis dalam segala kegiatannya.

Rangkaiaan kegiatan diesnatalies kumpulan mahasiswa yang doyan petualangan ini dimulai dari Senin (2/6). Mereka melakukan pendakian ke puncak penanggungan, tempat Prapala lahir. “Acara napak tilas ini kami lakukan sebagai bentuk hormat kami pada para pendahulu yang sudah mendirikan organisasi tercinta ini,” tutur Arina ketua pelaksana diesnatalies Prapala ke-18.

Selain anggota Prapala sendiri, pendakian itu juga diikuti dua mapala lain, yaitu mapala dari Reksa Buana (Kediri) dan IAIN Sunan Ampel. “Mereka ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada kita diatas puncak, jadi mereka juga ikut pendakian,” imbuhnya.

Disamping tapak tilas, pada pendakian yang berakhir pada selasa (3/6) itu mereka juga membuat video dokumenter pendakian. Video berdurasi 10-15 menit tersebut ditampilkan pada acara tasyakuransnya yang dihadiri kawan-kawan dari UKM, Unitas dan Komunitas yang ada di Stikosa-AWS. (T: Subagus Indra/F: Reza Nurmansyah)

Rabu, 03 Juni 2009

Sosok Dibalik Alang-alang


Hanya dengan mengenakan kaos singlet dan sehelai kain panjang yang membalut pinggangnya, Haji Didit Heru Purnomo banyak bercerita tentang dirinya.

Diteras rumahnya yang bernuansa etnik, dengan ukir-ukiran pada kayu pilar penyangga lengkap dengan daun-daun hijau disekelilingnya, menjadikan sejuk suasana saat itu. Pria yang tenar dipanggil Didit Hape ini terlahir dalam lingkungan seni, tak ayal membawanya terjun dalam bidang serupa. Selama ini sosok yang lebih suka disapa Om Didit itu dikenal sebagai seorang seniman, budayawan sekaligus reporter senior TVRI Jawa Timur. Kini pria berambut panjang itu tengah sibuk mengelola sanggar Alang@lang yang didirikannya 10 tahun lalu.

Sejak kecil anak pasangan Suwandi Singo Saputro dan Safu’ah ini bergelut dalam dunia seni. Khususnya teater dan sastra. Bakatnya dalam bidang teater terasah dari bimbingan pamannya, Emil Sanosa, ia sering bermain teater di sanggar HSBI milik pamannya yang merupakan menejer dan penyiar radio. “Disitu saya juga dipercaya untuk memegang jalannya suatu pementasan, jadi sekaligus belajar jadi sutradara,” tutur pria asli Yosowilangun, Lumajang itu gamblang.

ia mengaku merasa ada yang kurang pada dirinya jika ia belum memakai aksesoris gelang. “Sebenarnya koleksi aksesoris-aksesoris ini berawal dari keisengan Om Didit. Sejak muda Om Didit senang memakai gelang dan kalung. Sampai-sampai ini sudah dianggap sebagai ciri khas saya,” ungkapnya sambil menunjukkan koleksi aksesorisnya

Ketika ditanyai tentang impiannya dimasa kecil, ia langsung menjawab dirinya ingin menjadi supir truk trailer. “Saya lihat mereka begitu gagah saat mengendarai truk dengan muatan yang besar,” ungkapnya sambil tertawa.

Bakatnya dalam dunia satra tampak ketika ia menginjak bangku Menengah Atas. Penggemar moge (Motor Gedhe) itu sempat menjadi juara pertama lomba baca puisi (deklamasi) tingkat kabupaten Lumajang selama tiga tahun bertururt-turut. Selain itu, ia menjadi pioner berdirinya mading pertama SMA Negeri 1 Lumajang yang bernama Dialogia.

Karena bakat menulisnya itu ia mendapat dukungan dari guru SMA-nya untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi ke Akademi Wartawan Surabaya (AWS) pada tahun 1975. Kemudian mantan redaksi Acta Surya ini mencoba melamar ke TVRI saat ia menginjak tingkat tiga. “waktu itu Om Didit ngalamar bersama teman-teman lain, dari lima anak yang ikut cuma Om Didit yang diterima,” aku pria yang akan berumur 57 tahun pada 14 September nanti.

Setelah itu terpaksa ia meninggalkan kuliahnya untuk tugas di Jakarta selama dua tahun. Karirnya terus melejit, selain menjadi reporter ia juga dipercaya menjadi kameramen, sutradara, produser bahkan MC. Di tahun 1980 ia ditarik kembali ke Surabaya seiring didirikannya stasiun TVRI biro Jawa Timur.

Suka duka ia alami di TVRI. Ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi program acara berita Jatim, ia begitu senang ketika berita yang ditayangkannya merupakan berita yang aktual. “Setiap saat menjelang deadline kita selalu dibuat deg-degan. Karena waktu itu kan proses produksi dilakukan secara manual, jadi memerlukan waktu yang lama disamping dituntut untuk on time dalam menyampaikan berita, kita hanya bersaing dengan waktu, karena saat itu hanya TVRI satu-satunya stasiun televisi yang ada di Indonesia,” jelas suami Budha Ersa ini.

Pria yang identik dengan kalung yang melingkar dilehernya itu mengaku suka dengan hal-hal yang unik, contohnya ketika ia menciptakan program acara ‘Rona-Rona’ yang diminati banyak pemirsa. Berkat program acara berita ringan tersebut dapat membawanya mengunjungi Osaka, Jepang. Ditahun 1996 itu ia diundang NHK (salah satu televisi Jepang) sebagai delegasi Indonesia dalam pertemuan insan pertelevisian se-Asia. “Selain karena sukses acara tersebut, mereka mengundang Om Didit karena Om Didit dapat bekerja merangkap di berbagai bidang, sebagai reporter, kameramen dan produser sekaligus, karena waktu itu jepang sudah merumuskan wacana penghapuskan spesialisasi kerja, jadi reporter bisa jadi kameramen dan sebaliknya, begitu juga untuk bidang yang lain,” tutur bapak tiga anak itu.

Karena profesi dan jam terbang yang dimilikinya, ia menciptakan suatu gagasan untuk mendirikan sanggar alang@lang pada 16 April 1999. Ia merangkul para anak terlantar untuk dilatih dengan berbagai keterampilan. Seperti Siti dan Dayat yang sempat mengikuti acara idola cilik di RCTI.

Selama ini banyak anggapan jika anjal (anak jalanan) disebut sebagai penyakit sosial dan sampah masyarakat yang mengganggu ketertiban serta keindahan kota. Hal ini ditanggapi berbeda oleh Didit Hape, ia menganggap mereka perlu mendapatkan perhatian dari kita. “Sesuai Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Menurut saya pada kenyataannya hal tersebut tidak terlaksana baik. Selama ini pemerinitah masih mengurusi para tenaga kerja,” tukas anak nomer dua dari empat bersaudara ini.

Anak-anak yang kurang beruntung tersebut disebutnya dengan sapaan Anak Negeri. Ia berharap kedepan tidak ada lagi anjal yang masih berkeliaran di jalanan kota. “Begitu miris jika melihat anak-anak usia dini bekerja dijalanan untuk menyambung hidupnya,” tutur kakek satu cucu ini. Ia menambahkan ingin menghapusakan anggapan dimasyarakat tentang status anak jalanan yang identik dengan kekerasan.

Ia berharap sanggar alang@lang miliknya dapat memiliki tempat sendiri. “Selama ini kita masih ngontrak, jadi saya ingin punya tempat sendiri buat anak-anak, disamping harga sewa tempat yang terus naik tiap tahunnya,” ujarnya diakhir wawancara. (T/F: Subagus Indra)