Selasa, 22 September 2009

Mudik Memuncak, Optimalkan Jalur Alternatif

Jum'at (18/09) bertepatan H-2 arus mudik 2009, jalur Surabaya - Kediri mengalami kemacetan di Kertosono. Untuk mengatasi hal tersebut, bagi pemudik dari arah Surabaya, polisi membukakan jalur alternatif di Mojoagung, Jombang hingfga tembus Pare, Kediri.

Pemudik bermotor tak mau ketinggalan, bersama anak, istri dan barang bawaan yang tak jarang sampai over loaded, menyusuri jalanan ke kampung halaman. Untuk menghindari kemacetan yang lebih panjang, mereka yang dari arah Surabaya diinstruksikan untuk menggunakan jalur alternatif tersebut.

Memang sebelumnya telah diprediksi puncak arus mudik terjadi pada H-2. Dari data yang diperoleh dari detik.com, pada H-2 mudik, sedikitnya 2000 kendaraan roda empat dan 4000 kendaraan roda dua melintas tiap jamnya dari Surabaya menuju Kediri dan Madiun. (T: Subagus Indra)

Jumat, 18 September 2009

Prapala Road to Civilization Button Island

Menguak Peradaban Pulau 1000 Benteng

Pulau Buton menyimpan banyak sisa peradaban kuno. Seperti benteng-benteng pertahanan kerajaan dan tempat yang lainnya. Namun keberagaman artefak tersebut belum diexpose banyak orang. Hal tersebut yang menggelitik UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Prapala (Prapanca Pecinta Alam) Stikosa-AWS menjadikan pulau yang dijuluki pulau 1000 benteng tersebut sebagai tujuan tempat penggarapan tugas akhir angkatan mudanya.

`Acara yang dilaksanakan 5-25 Agustus lalu tersebut tidak hanya berlabuh di pulau Buton saja. tapi, sebelumnya rombongan juga sempat singgah di kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. “Perjalanan membutuhkan waktu tiga hari dua malam, ditempuh menggunakan kapal laut. Disana kita juga dibantu keluarga prapala angkatan 1999 yang memang menetap disana,” Ujar Laurencius Monday selaku ketua umum Prapala.

“Dari browsing Internet kita punya tiga opsi tempat, ada Jawa, Sumatra dan Sulawesi. Jawa memang punya banyak tempat, tapi kebanyakan sudah banyak orang yang tahu. Jadi, kita pilih Sulawesi Tenggara khususnya pulau Buton untuk kita kupas peradabannya, karena banyak tempat disana yang perlu dikenalkan,” Jelas mahasiswa yang akrab disapa Olen ini.

“Ini memang program kerja Prapala setiap tahunnya, tujuannya untuk tugas akhir angkatan muda sebelum naik tingkat menjadi angkatan biasa,” imbuhnya.

Prapala memfokuskan pembuatan tugas akhir angkatan mudanya pada bidang jurnalistik, linier dengan basic ilmu yang diajarkan Stikosa-AWS. “Semuanya kita dasarkan pada ilmu jurnalistik. Ada tulis, fotografi dan video recording,” tukasnya.

Unit kegiatan para pecinta alam tersebut memberangkatkan tiga angkatan mudanya, Prestiandini Adila (Cebong), Rory Nurmawati (Corong) dan Fajar Rulianto (Lepek). Disana mereka dibimbing tiga senior yang kompeten pada bidang fotografi, tulis dan video recording. Yudi Dwi Anggoro (Gombal), Dian Kurniawan (Semprong) dan Laurencius Monday (Letheg).

Kegiatan yang berlangsung tak selalu berjalan mulus. Disana tim dipersulit dengan sistem birokrasi yang berjalan. “Kendala kita hanya berada sistem birokrasi, seperti perizinan dan lain-lain,” paparnya.

Rencananya dari acara Prapala road to civilitation Button island ini, Oktober akan diselenggarakan acara lanjutan untuk menunujukan hasil petualangannya di Sulawesi Tenggara. “Mungkin kita juga akan mengundang perwakilan dari disparta, karena selain memperkenalkan tempat-tempat baru di Sulawesi Tenggara yang berpotensi menjadi tempat wisata, kita nanti juga ingin sharing budaya,” ulas pemilik rambut gimbal tersebut. (T: Subagus Indra /F: Yudhi ‘Gombal’ Prapala)

Sembunyikan Nama Sampai Direct Film Panjang


Mbek, nama yang dapat menggiring pikiran manusia pada seekor kambing. Tapi, jangan samakan Mbek yang satu ini dengan hewan mamalia tersebut.

Sosok ini punya segudang cerita dan pengalaman tentang dunia perfilman. 13 kali menyutradarai film independent (indie) dan tiga kali terjun dalam pembuatan film panjang merupakan sekelumit prestasi yang dimilikinya. “kalau aku belum men-direct film panjang, nama asliku nggak akan aku sebutkan,” nadzar yang terucap dari pria berumur 27 tahun tersebut.

Tak hanya itu saja, karena begitu getol keinginannya untuk membuat film panjang, sampai-sampai ia memutuskan untuk selalu memakai baju dengan terbalik hingga impiannya tersebut terwujud. Tak disangka gaya berpakaiannya yang seperti itu, kini menjadi ciri khas yang melekat pada dirinya, selain topi, kacamata dan tato dilengan kirinya.

Banyak karya film yang telah ia ciptakan. Khususnya film indie “Dari 13 film independent yang pernah ku buat, ada tiga film yang paling berkesan Summer Romance, Lowongan Pekerjaan dan Bisikan Senja,” tutur

Dari film Lowongan Pekerjaan (LP) dapat membawa Mbek sampai ke Jepang. Karena film yang diproduksi tahun 2008 ini berhasil masuk menjadi nominasi Sapporro Sort Fest. Sebuah festival film pendek yang diadakan di Sapporro, Jepang. “Rasanya bangga banget karena LP satu-satunya film dari Indonesia yang bisa nimbus sampai sana,” ujarnya.

Ia pun juga pernah menggarap video klip grup band kenamaan, seperti Olif, Soulmade, Andezz dan Farabi Gading All Star. Tak hanya itu, pria asli Surabaya ini juga beberapa kali menggarap film panjang sebagai astrada (Asisten Sutradara). Diantaranya Sang Dewi, Crazy In Thailand dan Serigala Terakhir.

“Baik indie maupun industry, semuanya menyenangkan, hanya perbedaannya, kalau di jalur indie aku bisa menampilkan semua yang kuinginkan, karena tidak ada aturan-aturan yang mengikat dalam berkarya,” ulasnya.

Ia mengimbuhkan jika kendala di jalur indie adalah masalah dana, perlengkapan, peralatan dan lain-lain. Hal ini tak terjadi jika berada di jalur industry. “Semua serba mudah, dari dana sampai peralatan semua terjamin, musuh kita hanya waktu,” paparnya.

Awalnya pria yang sempat kuliah di Stikom (Sekolah Tinggi Ilmu Komputer) Surabaya ini tertarik dalam bidang musik dan informatika. Kemudian dunia perfilman menarik hatinya untuk berkecimpung didalamnya. “Disini aku dapat berkarya bebas, misalnya aku nggak suka sama orang, aku bisa visualisasikan dalam bentuk film,” ungkapnya.

Meskipun belum sekalipun mendapatkan award, tetapi bila berandai-andai mendapatkan award, Mbek pertama kali akan mengucapkan terima kasih pada Ibundanya, Supriyatiningsih. “Mama selalu melarang minatku ini, Mama lebih mendukung ku untuk jadi dokter,” terang pria sulung dari tiga bersaudara tersebut.

Berkat dunia barunya ini, Mbek berkesempatan untuk menjejakkan kakinya ke banyak tempat, termasuk ketika ia menimba ilmu di negeri kanguru, Australia. ”Dari sini aku bisa kemana saja, keliling Indonesia bahkan keliling dunia. Aku berkesempatan belajar di Summer Film School, Melbourn, berkat beasiswa yang ku dapatkan,” aku pria yang masa sekolah dasarnya dihabiskan di SDN Ketabang V ini.

Nasionalisme Mbek

Ada hal menarik jika menilik sisi lain pria kelahiran 27 Mei 1982 ini, ia mengaku memiliki rasa nasionalis yang besar. “Aku ini termasuk orang yang nasionalis banget,” ungkapnya.

Ia menambahkan jika sebetulnya yang terpenting bukanlah kata-kata yang dilontarkan tentang nasionalis tersebut, tapi yang penting adalah rasa yang tertanam pada dalam dirinya. ”Biarpun sepatuku import, tapi aku tetap pilih warna yang merah putih,” ungkapnya sambil menunjukkan sepatunya.

Ada rasa kebanggaan waktu aku pakai baju batik saat festival film pendek di Sapporo,” ujarnya. Ia mengimbuhkan jika di Jakarta ia memiliki komunitas kecil yang anggotanya memiliki rasa nasionalisme terhadap Indonesia. (T:Subagus Indra/F: Dhimas Prasaja)

Perjuangan Jurnalis Orba


Sepak terjangnya dalam dunia jurnalistik memang perlu diakui. Tempo, Prospek dan Gatra pernah ditunggangi untuk memacu goresan tintanya.

Heri Muhammad memiliki kecintaan yang besar dalam berorganisasi, hal tersebut menjadi bekalnya terjun dalam dunia kerja. Seperti turut berkecimpung dalam keredaksionalan LPM Akademika Universitas Sunan Giri, menjadi pengurus badan komukasi masjid Al-Falah dan menjadi pemrakarsa berdirinya Yayasan Dana Sosial pada tahun 1986.

Awal karir kewartawanan pria asli Sepanjang, Sidoarjo ini dimulai tahun 1987. Ia menjadi wartawan majalah tempo selama tiga tahun, yaitu sampai saat dibredelnya majalah politik itu ditahun 1990, karena kasus pembongkaran rahasia Negara yang dilakukannya.

“Saat Tempo dibredel, banyak wartawan yang keluar, termasuk juga saya didalamnya. Hanya tersisa kurang dari 40 persen keseluruhan jumlah wartawan yang ada,” Tutur pria 49 tahun tersebut.

Kemudian para wartawan yang keluar dari majalah Tempo tersebut berkumpul dan mendirikan media baru yang diberi nama Prospek, sebuah majalah ekonomi. “Prospek tidak bertahan lama, hanya empat tahun kita berdiri. Kemudian berhenti berproduksi karena terkendala dana,” Ungkap pria berperawakan tegap ini.

Perjuangannya menjadi wartawan di era orde baru tidaklah mudah. Karena itu setelah gagal bersama Prospek, kemudian ia dan kawan-kawan mendirikan Majalah Gatra tahun 1994. Menurutnya wartawan kala itu penuh kerja keras dan rintangan dalam tugas peliputannya. “Wartawan orde baru tidak bisa seenaknya dalam mencari berita. Semuanya diatur, ada list tentang hal apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh, terutama jika pemberitaannya menyinggung keluarga Soeharto,” Imbuhnya.

“Kita harus pandai-pandai mensiasati hal-hal seperti ini. Banyak cara yang dapat dilakukan, Seperti menyinggung permasalahan utama lewat masalah-masalah pendukung, permainan kata dan kalimat dalam penulisan, terus memperbaiki dan berusaha selangkah lebih maju,” Jelas Pria kelahiran Surabaya, 7 Mei 1960 tersebut.

Dalam meraih jabatan Redaktur Pelaksana yang disandangnya kini, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia perlu melalui berbagai tahapan kerja

Jam terbang yang tinggi menuntutnya untuk menularkan ilmu yang ia miliki. Salah satu cara yang ia pergunakan dengan membuat buku. Seperti Reportase Dakwah, Aa’ Gym Menjaga Hati Mencari Ridho Ilahi, Tokoh-tokoh Islam Paling Berpengaruh Abad 20 dan 44 Teladan Kepemimpinan Muhammad. “Karena saya dilahirkan dilingkungan muslim, menjadikan inspirasi bagi saya membuat buku-buku bernuansa islami,” Tutur Suami dari Hanimah Ritah ini. (T:Subagus Indra/F: Dhimas Prasaja)