Minggu, 21 Juni 2009

18 Tahun Prapala

18 tahun sudah usia UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Prapala (Prapanca Pecinta Alam) Stikosa-AWS kini. “Bukanlah umur yang muda lagi. Ibarat manusia, kini ia telah dewasa, ia sudah mengenal mana yang baik dan yang buruk,” tutur seorang pioner berdirinya Prapala pada acara tasyakuran yang dihelat di lapangan paving Stikosa-AWS, Sabtu (6/6).



3 Juni merupakan tanggal bersejarah bagi UKM penggila tantangan ini. Tepat pada hari itu Prapala berdiri akibat dari rasa ketidak puasan mahasiswa atas stagnasi yang dialami organisasi-organisasi yang ada di kampus. “Kita melihat kurang adanya greget yang dimiliki organisasi kampus, saat itu ada senat yang angin-anginan, himmarfi juga, apalagi acta surya. Jadi kami memutuskan untuk mendirikan Prapala sebagai bentuk protes kami,” imbuhnya.

Akhirnya dengan awak sebanyak 50 orang, UKM baru di Stikosa-AWS didirikan. “Kenapa kita lebih memilih Prapanca ketimbang Stikosa-AWS?. Nama itu kita pilih untuk memberi identitas pada organisasi kita. Waktu itu yayasan Prapanca mempunyai Akpar yang berkembang lebih pesat dari pada Stikosa-AWS, jadi kita lebih memilih nama Prapanca tiu,” lanjut pria berperawakan tinggi tegap itu.

Di ulang tahunnya yang ke-18 ini Laurensius Monday selaku ketua Umum Prapala menyongsong motto mereka ‘Dengan kekeluargaan dan pengabdian kami datang’. Ia berharap agar Prapala dapatr terus eksis dalam segala kegiatannya.

Rangkaiaan kegiatan diesnatalies kumpulan mahasiswa yang doyan petualangan ini dimulai dari Senin (2/6). Mereka melakukan pendakian ke puncak penanggungan, tempat Prapala lahir. “Acara napak tilas ini kami lakukan sebagai bentuk hormat kami pada para pendahulu yang sudah mendirikan organisasi tercinta ini,” tutur Arina ketua pelaksana diesnatalies Prapala ke-18.

Selain anggota Prapala sendiri, pendakian itu juga diikuti dua mapala lain, yaitu mapala dari Reksa Buana (Kediri) dan IAIN Sunan Ampel. “Mereka ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada kita diatas puncak, jadi mereka juga ikut pendakian,” imbuhnya.

Disamping tapak tilas, pada pendakian yang berakhir pada selasa (3/6) itu mereka juga membuat video dokumenter pendakian. Video berdurasi 10-15 menit tersebut ditampilkan pada acara tasyakuransnya yang dihadiri kawan-kawan dari UKM, Unitas dan Komunitas yang ada di Stikosa-AWS. (T: Subagus Indra/F: Reza Nurmansyah)

Rabu, 03 Juni 2009

Sosok Dibalik Alang-alang


Hanya dengan mengenakan kaos singlet dan sehelai kain panjang yang membalut pinggangnya, Haji Didit Heru Purnomo banyak bercerita tentang dirinya.

Diteras rumahnya yang bernuansa etnik, dengan ukir-ukiran pada kayu pilar penyangga lengkap dengan daun-daun hijau disekelilingnya, menjadikan sejuk suasana saat itu. Pria yang tenar dipanggil Didit Hape ini terlahir dalam lingkungan seni, tak ayal membawanya terjun dalam bidang serupa. Selama ini sosok yang lebih suka disapa Om Didit itu dikenal sebagai seorang seniman, budayawan sekaligus reporter senior TVRI Jawa Timur. Kini pria berambut panjang itu tengah sibuk mengelola sanggar Alang@lang yang didirikannya 10 tahun lalu.

Sejak kecil anak pasangan Suwandi Singo Saputro dan Safu’ah ini bergelut dalam dunia seni. Khususnya teater dan sastra. Bakatnya dalam bidang teater terasah dari bimbingan pamannya, Emil Sanosa, ia sering bermain teater di sanggar HSBI milik pamannya yang merupakan menejer dan penyiar radio. “Disitu saya juga dipercaya untuk memegang jalannya suatu pementasan, jadi sekaligus belajar jadi sutradara,” tutur pria asli Yosowilangun, Lumajang itu gamblang.

ia mengaku merasa ada yang kurang pada dirinya jika ia belum memakai aksesoris gelang. “Sebenarnya koleksi aksesoris-aksesoris ini berawal dari keisengan Om Didit. Sejak muda Om Didit senang memakai gelang dan kalung. Sampai-sampai ini sudah dianggap sebagai ciri khas saya,” ungkapnya sambil menunjukkan koleksi aksesorisnya

Ketika ditanyai tentang impiannya dimasa kecil, ia langsung menjawab dirinya ingin menjadi supir truk trailer. “Saya lihat mereka begitu gagah saat mengendarai truk dengan muatan yang besar,” ungkapnya sambil tertawa.

Bakatnya dalam dunia satra tampak ketika ia menginjak bangku Menengah Atas. Penggemar moge (Motor Gedhe) itu sempat menjadi juara pertama lomba baca puisi (deklamasi) tingkat kabupaten Lumajang selama tiga tahun bertururt-turut. Selain itu, ia menjadi pioner berdirinya mading pertama SMA Negeri 1 Lumajang yang bernama Dialogia.

Karena bakat menulisnya itu ia mendapat dukungan dari guru SMA-nya untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi ke Akademi Wartawan Surabaya (AWS) pada tahun 1975. Kemudian mantan redaksi Acta Surya ini mencoba melamar ke TVRI saat ia menginjak tingkat tiga. “waktu itu Om Didit ngalamar bersama teman-teman lain, dari lima anak yang ikut cuma Om Didit yang diterima,” aku pria yang akan berumur 57 tahun pada 14 September nanti.

Setelah itu terpaksa ia meninggalkan kuliahnya untuk tugas di Jakarta selama dua tahun. Karirnya terus melejit, selain menjadi reporter ia juga dipercaya menjadi kameramen, sutradara, produser bahkan MC. Di tahun 1980 ia ditarik kembali ke Surabaya seiring didirikannya stasiun TVRI biro Jawa Timur.

Suka duka ia alami di TVRI. Ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi program acara berita Jatim, ia begitu senang ketika berita yang ditayangkannya merupakan berita yang aktual. “Setiap saat menjelang deadline kita selalu dibuat deg-degan. Karena waktu itu kan proses produksi dilakukan secara manual, jadi memerlukan waktu yang lama disamping dituntut untuk on time dalam menyampaikan berita, kita hanya bersaing dengan waktu, karena saat itu hanya TVRI satu-satunya stasiun televisi yang ada di Indonesia,” jelas suami Budha Ersa ini.

Pria yang identik dengan kalung yang melingkar dilehernya itu mengaku suka dengan hal-hal yang unik, contohnya ketika ia menciptakan program acara ‘Rona-Rona’ yang diminati banyak pemirsa. Berkat program acara berita ringan tersebut dapat membawanya mengunjungi Osaka, Jepang. Ditahun 1996 itu ia diundang NHK (salah satu televisi Jepang) sebagai delegasi Indonesia dalam pertemuan insan pertelevisian se-Asia. “Selain karena sukses acara tersebut, mereka mengundang Om Didit karena Om Didit dapat bekerja merangkap di berbagai bidang, sebagai reporter, kameramen dan produser sekaligus, karena waktu itu jepang sudah merumuskan wacana penghapuskan spesialisasi kerja, jadi reporter bisa jadi kameramen dan sebaliknya, begitu juga untuk bidang yang lain,” tutur bapak tiga anak itu.

Karena profesi dan jam terbang yang dimilikinya, ia menciptakan suatu gagasan untuk mendirikan sanggar alang@lang pada 16 April 1999. Ia merangkul para anak terlantar untuk dilatih dengan berbagai keterampilan. Seperti Siti dan Dayat yang sempat mengikuti acara idola cilik di RCTI.

Selama ini banyak anggapan jika anjal (anak jalanan) disebut sebagai penyakit sosial dan sampah masyarakat yang mengganggu ketertiban serta keindahan kota. Hal ini ditanggapi berbeda oleh Didit Hape, ia menganggap mereka perlu mendapatkan perhatian dari kita. “Sesuai Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Menurut saya pada kenyataannya hal tersebut tidak terlaksana baik. Selama ini pemerinitah masih mengurusi para tenaga kerja,” tukas anak nomer dua dari empat bersaudara ini.

Anak-anak yang kurang beruntung tersebut disebutnya dengan sapaan Anak Negeri. Ia berharap kedepan tidak ada lagi anjal yang masih berkeliaran di jalanan kota. “Begitu miris jika melihat anak-anak usia dini bekerja dijalanan untuk menyambung hidupnya,” tutur kakek satu cucu ini. Ia menambahkan ingin menghapusakan anggapan dimasyarakat tentang status anak jalanan yang identik dengan kekerasan.

Ia berharap sanggar alang@lang miliknya dapat memiliki tempat sendiri. “Selama ini kita masih ngontrak, jadi saya ingin punya tempat sendiri buat anak-anak, disamping harga sewa tempat yang terus naik tiap tahunnya,” ujarnya diakhir wawancara. (T/F: Subagus Indra)

Hijau Daun Gaet Nindy


Untuk ketiga kalinya dalam bulan ini, Colours Pub and Restaurant menghadirkan grup band nasional untuk memanjakan pengunjungnya. Kamis (21/5), setelah Boomerang dan Retina kali ini grup band asal kota empek-empek Hijau Daun berkesempatan menghibur warga Surabaya. Grup band yang dikenal lewat single pertamanya ‘Suara (Ku Berharap)’ itu menyanyikan semua lagu di album pertamanya dan satu single ’Walau Habis Terang’ dari Peter Pan..

Setelah meluncurkan single Repecage ‘Suara (Ku Berharap)’ bersama Luna Maya dengan konsep dangdut kontemporer. Band yang akan tepat berusia tujuh tahun pada 22 Agustus itu berencana melakukan hal serupa, kali ini dengan menggandeng Nindy. Tetapi bedanya, dalam duetnya bersama nindy ini akan dikemas dengan konsep religi. “Rencananya kita akan menggunakan salah satu lagu yang juga pernah di Repecage oleh Gigi. Tapi kita belum tahu akan dibuat dalam bentuk album khusus religi atau dimasukkan dalam album kompilasi”. ujar Didi sang vokalis.

Dengan angka penjualan RBT single ‘Suara (Ku Berharap)’ yang hampir menembus tujuh juta. Band yang berencana meluncurkan single religi pada Agustus mendatang ini merasa bersyukur atas pencapaian mereka saat ini. “alhamdulillah, kita bisa jadi seperti sekarang ini. Kita tetap berusaha untuk menghibur”. Tambahnya.

Grup band yang pop progresif ini, tak menyangkal bila ada lagunya yang berbeda dengan aliran musik yang mereka usung. Dan secara tegas mereka berikrar tidak akan berpindah ke aliran musik dangdut. ”Single Suara (Ku Berharap) memang sedikit ada unsur melayu-nya. Disini kita mengikuti perkembangan pasar. Tetapi bukan berarti kita mengesampingkan prinsip kita dalam bermusik demi tuntutan pasar. Karena kit bermusik selain untuk menghibur semua orang jugauntuk menghibur diri kita sendiri” Imbuh pria yang memiliki suara serak basah itu. (T: Subagus Indra/ F: Qusnul T)